Minggu, 09 November 2014

Ide Kreatif Usaha: Pelepah Pisang Jadi Sandal


Kunci sukses berwirausaha salah satunya adalah “kreatif” dan “karakter”. Terutama bagi anda yang masih berjiwa muda, saya yakin semangat kreatif dan inovatif pasti masih membara dan menggebu, segera saja direalisasikan. Seperti kisah anak muda dari Surabaya dengan ide kreatifnya untuk berwirausaha, Mely Prasetyo yang memanfaatkan pelepah pisang menjadi sandal eksklusif. Simak kisahnya berikut ini:


Kini, gedhebog alias pelepah pohon pisang pun bisa dibuat menjadi sandal. Inspirasi datang dari banyaknya pasokan pelepah pisang yang selama ini tak termanfaatkan.

Adalah mahasiswi Jurusan Desain Manajemen Produk Fakultas Industri Kreatif Universitas Surabaya (Ubaya) Mely Prasetyo, yang mulai merancang sandal dari bahan olahan pelepah pohon pisang ini. “Saya mencoba merancang dengan bahan yang belum pernah ada,” kata dia di kampus Ubaya, Rabu (3/4/2013).

Gadis kelahiran Surabaya pada 1991 itu menjelaskan dia tertarik memanfaatkan pelepah pisang selain karena belum pernah digunakan sebelumnya, juga karena banyaknya pohon pisang yang ada di Surabaya. Setiap kali berangkat kuliah dia mengaku sering melihat pelepah tak termanfaatkan.

“Di Pasar Keputran juga banyak gedhebog, tapi saya sering melihat gedhebog itu dibuang begitu saja,” kata Mely. Karenanya, dia pun mulai berpikir bagaimana memanfaatkannya.

Gadis yang mengaku menggemari fashion ini ingin menjadikan sandal berbahan pelepah pisang sebagai sandal khas Indonesia. Menurut dia, hanya butuh lima proses untuk mengolah pelepah pisang untuk menjadi sandal.

Pertama adalah pengupasan pelepah pisang, kemudian dipotong menjadi ukuran satu centimeter. Selanjutnya, potongan-potongan pelepah pisang itu direbus selama 15 menit, kemudian dikeringkan dalam udara terbuka. Setelah itu, pelepah diwarnai dengan pewarna tekstil dalam air mendidih selama 30 menit hingga sehari.

“Terakhir, proses finishing,” kata Mely. Tahap akhir itu dilakukan dengan melekatkan potongan kecil pelepah pisang yang sudah kering dan berwarna itu ke bahan sandal atau sepatu yang disebut texon dan sudah dibentuk sesuai ukuran kaki.


Untuk memperkuat, kata Mely, pada bagian pinggir pelepah pisang yang sudah melekat ke texon itu dijahit. Agar lebih ‘cantik’, sandal berbahan pelepah pisang ini pun dilapisi vernis.


Mely mengatakan tali pengikat atau bagian atas sandal juga dibuat dari potongan pelepah pisang. “Dibuat dengan cara melekatkan dua pelepah pisang pada posisi berlawanan agar tidak mudah rapuh,” katanya.


Sandal ini pun direncanakan akan diproduksi massal. “Kalau produksi individual seperti buatan saya, harganya mahal bisa Rp 500 ribuan,: kata dia.


Mahalnya harga sandal berbahan pelepah pisang itu bila tidak diproduksi massal, menurut Mely karena harga kemasan yang mencapai Rp 300 ribu hingga Rp 400 ribu. “Padahal sandalnya tidak sampai Rp100 ribu,” kata dia. Produksi massal, tambah Mely, akan membuat sandal ini tak mahal lagi.

Sumber: http://bisniskeuangan.kompas.com.

Kisah Sukses Salesman Yang Kini Jadi Pemilik Adyawinsa Group (Markus Maturo)

Kisah-Sukses-Anak-Penjual-Gado-gadoJangan pernah meremehkan pekerjaan salesman. Seringkali sebagai seorang salesman adalah pekerjaan tidak bergengsi yang levelnya paling bawah, bahkan seringkali pula di pandang sebelah mata. Padahal justru pekerjaan salesman yang sering bertemu banyak orang akan menambah relasi dan otomatis juga membuka pintu rejeki lain. Seperti kisah Markus Maturo yang berawal dari salesman dan kini sukses menjadi bos Adyawinsa Group, simak kisahnya di bawah ini:

Kemauan untuk belajar dan total memanfaatkan kesempatan menjadi kunci kesuksesan Markus Maturo dalam menjalankan bisnis. Mengawali karier dari nol sebagai seorang salesman, kini Markus telah menjadi juragan enam pabrik.

Mengalir bak air di sungai. Itu gambaran perjalanan karier Markus Maturo, pemilik Adyawinsa Group. Meski tidak pernah bermimpi menjadi pengusaha, ternyata, saat ini dia sukses berbisnis dengan memiliki sedikitnya enam pabrik.

Lewat bendera Adyawinsa Group, Markus mengelola usaha di bidang otomotif dan nonotomotif. Di bidang otomotif, dia memiliki empat pabrik, yakni dua pabrik stamping bernama PT Adyawinsa Dinamika Karawang dan PT Adyawinsa Stamping Industries, satu pabrik pengolahan plastik bernama PT Adyawinsa Plastic Industries Karawang, dan satu pabrik interior mobil Adyawinsa New World Autoliner yang beroperasi di Thailand.


Di luar otomotif, Markus memiliki dua pabrik. Satu pabrik bergerak di bidang telekomunikasi bernama PT Adyawinsa Telecommunication & Electrical dan satu pabrik di bidang solar panel bernama PT Adyawinsa Electrica & Power.


Sedikitnya, ada 65 perusahaan yang sudah bermitra dengan Adyawinsa Group. Antara lain Suzuki, Daihatsu, General Motor Indonesia, Mitsubishi, Toyota, Meiwa Indonesia, Sharp, Philips,Toshiba, Panasonic, Telkom Indonesia, Spinner, Indosat, Ericsson, Huawei, dan SCS Agit.


Melihat luasnya bidang usaha Adyawinsa Group, mungkin Anda mengira ini kelompok usaha milik keluarga konglomerat. Salah. Adyawinsa Group bukan warisan keluarga. Markus sendiri yang membangun grup usaha ini dari nol. Selulus dari Akademi Teknik Mesin Indonesia (ATMI) Solo, Jawa Tengah, pada 1991, dia bekerja sebagai kepala proyek di perusahaan konstruksi. “Orang tua mau membiayai saya kalau saya kuliah di ATMI,” kata anak penjual gado-gado ini.

Markus hanya bekerja di Solo selama enam bulan. Sebab, ia diminta untuk bergabung di perusahaan sang kakak bernama PT Enceha Pacific yang saat itu bergerak di bidang perdagangan epoxy tooling. “Saya jadi tenaga penjual,” kenangnya.


Selama menjadi salesman, Markus sering berinteraksi dengan perusahaan komponen otomotif. Hingga pada suatu hari, dia bertandang ke satu pelanggan: Inoac Indonesia, perusahaan yang memproduksi jok dan interior mobil. “Engineer Inoac sedang pusing saat itu karena komponen stay headrest pesanan Toyota banyak ybang direjek,” tutur suami dari Ariyanti Koswara ini.


Inoac pun menawari Markus memproduksi komponen tersebut. Karena merasa tidak memiliki peralatan produksi, ia menanyakan alamat pemasok stay headrest yang ada di Tangerang dan Cibubur. “Saya pun membeli 10 biji di Cibubur,” kenang lelaki kelahiran Kroya, Jawa Tengah, 2 Maret 1970 ini.

Kisah-Sukses-Anak-Penjual-Gado-gado

Hanya mengamplas
Komponen yang Markus beli memang seret ketika dimasukkan ke stoper. Dia pun berinisiatif untuk mengampelasnya. “Mereka puas. Order pun ditambah menjadi 100 biji. Saya masih ampelas sendiri. Hingga akhirnya, mereka pre-order hingga 1.000 biji,” katanya. Markus lantas merekrut pengangguran di sekeliling rumahnya. Sembari memenuhi order, dia tetap bekerja di perusahaan sang kakak.

Ketika order meningkat hingga 10.000 biji, mau tidak mau, Markus harus meningkatkan produksi. Tahun 1994, bermodal Rp 25,7 juta, dia membeli beberapa mesin pres dan mesin bubut. “Karena sudah ada karyawan, saya keluar dari pekerjaan sebagai sales,” kata Markus yang memulai usahanya di garasi berukuran 120 meter persegi (m²) milik sang kakak.


Tahun 1995, Mitsubishi memesan beberapa komponen untuk mobil keluaran baru mereka, yaitu Mitsubishi Kuda. “Awalnya mereka ragu dengan lokasi usaha saya yang dekat pemukiman warga. Mereka minta saya pindah ke kawasan industri,” katanya.

Mitsubishi pun memberikan order dan uang muka yang oleh Markus dipakai untuk membeli lahan seluas 1.400 m² di Jababeka. “Proses pembangunan pabrik butuh waktu 18 bulan. Selama itu, saya tetap produksi di garasi,” katanya. Tahun 1996, orderan datang lagi dari General Motor yang akan meluncurkan Opel Blazer, mereka meminta dibuatkan cover engine.

Usaha Markus terus berkembang, komponen otomotif yang dia produksi pun semakin banyak. Hingga, akhirnya, dia mendapatkan order dari Philips untuk memproduksi komponen rumah lampu (armatur). “Mesin yang kami miliki itu bersifat universal. Bisa untuk komponen otomotif maupun non otomotif,” jelasnya.

Bisnis Markus makin luas. Dia juga merambah dunia telekomunikasi dengan memasok komponen base transceiver station (BTS).

Seiring berkembangnya jenis produk dan meningkatnya pesanan, sampai sekarang Markus terus menambah pabrik. “Sejak tahun 2007, dalam setahun, minimal ada penambahan satu pabrik,” tuturnya. Tahun ini, dia akan menambah satu pabrik dan tahun depan akan menambah dua pabrik lagi.



Lulusan SMA Pemilik PT VITECHINDO


Fitriyanto, si pembantu yang kini bos produk salon
Fitriyanto hanya lulusan SMA. Tapi, berkat tekad yang diiringi dengan usaha keras, ia sukses menjadi produsen perawatan mobil merek Autofit. Pemilik PT Vitechindo Perkasa ini mampu membikin produk yang bisa bersaing dengan merek terkenal.
Hidup ini bagi Fitriyanto benar-benar sebuah perjuangan. Ia lahir dari keluarga sederhana, kalau tidak disebut miskin. Ayahnya hanya seorang tukang kayu. Tapi, dengan tekad yang bulat dan usaha yang kuat, Fitriyanto mampu menjadi seorang pengusaha produk perawatan mobil yang terbilang sukses.

PT Vitechindo Perkasa, perusahaan milik Fitriyanto, berhasil memasok produknya ke bengkel resmi milik agen tunggal pemegang merek (ATPM) besar, seperti Toyota, Daihatsu, Isuzu, Honda, Nissan, Hyundai, Suzuki, Kia, dan Mazda. Bisnis ini menghasilkan omzet Rp 8 miliar per tahun.
Label merek produk buatan Fitriyanto adalah Autofit. Saat ini, ada 20 produk merekAutofit yang sudah diproduksi, antara lain produk sampo, semir ban, pelumas, pembersih evaporator, injection purge, cairan pembersih bahan bakar, pembersih blok mesin, pembersih karburator, dan pembersih ruang bakar mesin kendaraan.

Uniknya, untuk meracik Autofit, Fitriyanto sama sekali tidak memperdalam ilmu kimia secara formal. “Semua saya pelajari secara autodidak,” kata pria kelahiran Purbalingga, 10 November 1972 ini.
Ayahnya yang seorang tukang kayu tentu tak mampu menyekolahkannya tinggi-tinggi. Maka, ketika lulus SMA, pada tahun 1992, Fitriyanto langsung hijrah ke Jakarta. Anak bungsu dari lima bersaudara ini menjadi kuli bangunan.
Enam bulan menjadi kuli bangunan, Fitriyanto pindah menjadi tukang bantu-bantu di rumah Rachmat Gobel, kini Presiden Komisaris PT Panasonic Manufacturing Indonesia. Di rumah itulah ia ketemu dengan salah satu manajer Panasonic. “Saya ditawari kerja,” ujarnya. Ia lalu menjadi pegawai di Panasonic, divisi komponen, yang memproduksi semua speaker.
Di waktu senggang, Fitriyanto selalu meluangkan waktu untuk membaca buku kisah orang sukses. “Saya menghimpun tekad untuk menjadi orang sukses. Dari buku yang saya baca, orang sukses kebanyakan mengawali karier sebagai tenaga pemasaran (marketing),” kata suami Lihardiana ini.

Fitriyanto lantas hengkang dari Panasonic dan pada tahun 1995, ia menjadi tenaga pemasar di produsen minuman. “Saya mendapat upah Rp 75.000 per bulan, jauh lebih kecil ketimbang jadi kuli bangunan. Ketika jadi kuli, upah saya Rp 60.000 per minggu,” kata Fitriyanto yang akhirnya keluar setelah tiga bulan bekerja.
Lantaran bertekad jadi tenaga pemasar, Fitriyanto kembali masuk ke perusahaan cokelat selama setahun, sebelum akhirnya pindah ke PT Prima Karya Gandareksa, perusahaan kimia. Ia tetap jadi tenaga pemasar, tetapi dengan gaji Rp 5 juta per bulan. “Saya banyak belajar tentang produk perawatan mobil di sini,” katanya. Lantaran kinerjanya bagus, perusahaan menugaskannya ke Bali. Tapi, ia memilih mundur lantaran tak ingin jauh dari keluarga. Selama setahun, ia beberapa kali pindah kerja di perusahaan kimia.
Fitriyanto akhirnya masuk ke perusahaan produk perawatan mobil dari Jerman. “Di perusahaan ini, saya suka memperhatikan para peracik produk. Saya pelajari, bahan apa saja yang diramu menjadi produk perawatan,” katanya.
Setiap Sabtu dan Minggu, dia pergi ke toko kimia untuk mempelajari bahan-bahan kimia yang bisa diramu menjadi produk perawatan mobil. Dia bertahan selama lima tahun di perusahaan itu sebelum akhirnya mengundurkan diri dengan posisi gaji terakhir Rp 24 juta per bulan.

Pinjam uang ke bank
Pengalaman di perusahaan pembuatan produk perawatan mobil membuat Fitriyanto percaya diri untuk memulai usaha sendiri. “Sebagai tenaga pemasar, saya sudah memegang banyak pelanggan. Saya juga sudah bisa membuat produk sendiri,” katanya.
Dengan memanfaatkan bengkel sepeda motor di Cikeas, Bogor, yang didirikan saat masih bekerja, pada 2007, Fitriyanto memulai usaha produk perawatan mobil. “Saat itu, cuma ada satu montir dan tempatnya sangat sederhana,” kenangnya. Di bengkel itu, dia meracik bahan setelah memenangi tender pengadaan produk perawatan mobil dari salah satu bengkel mobil besar.
Lantaran tak punya modal, Fitriyanto mencari pinjaman bank sebesar Rp 25 juta. “Karena tidak ada agunan, modalnya hanya kepercayaan. Bank itu menjadi pelanggan di bengkel kami,” katanya.
Dari modal Rp 25 juta, ia bisa menghasilkan omzet Rp 80 juta. Tiga tahun berjalan, usahanya semakin besar. Dengan pinjaman bank yang lebih besar, dia membuka pabrik di daerah Cipayung, Jakarta Timur, dan mendirikan PT Vitechindo Perkasa.
Saat ini, Fitriyanto memiliki 35 karyawan dan sejak awal bulan Juni 2012, dia membuka lembaga kursus bahasa Inggris dan komputer. “Saya sendiri tak bisa mengoperasikan komputer,” katanya sambil tertawa. Ia juga membuka sekolah taman kanak-kanak sembari menjalankan usaha bengkelnya.


Kisah Seorang Bill Porter

BILL PORTER
Dalam sebuah film berjudul Door To Door (2002) dikisahkan tentang seorang tokoh bernama Bill Porter. Ia dilahirkan dengan cacat bawaan bernama cerebral palsy, di antaranya ia mengalami gangguan fungsi tangan kanan dan berjalan pincang. Ia pun sulit berbicara, dan kalaupun dapat berbicara selalu meneteskan air liur. Tetapi dengan penuh kasih sayang ibunya selalu memberikan motivasi. Alhasil, meskipun tumbuh menjadi pemuda yang cacat, tetapi Bill Poter mempunyai ketekunan, kesabaran, dan semangat yang tinggi.

Hanya bermodal semangat, Bill Poter memberanikan diri melamar pekerjaan sebagai seorang pemasar di sebuah perusahaan terkenal, The Watkins. Dengan tegas pihak perusahaan menolak lamarannya. Mereka menjadikan keterbatasan fisik Bill Poter sebagai alasan.

Tak ingin mengecewakan sang ibu, Bill Poter berusaha menawarkan diri menjadi pemasar di wilayah yang tidak diinginkan pemasar lainnya. “Apalah ruginya jika Anda memberi saya lokasi yang tidak berpotensi?” katanya pada saat menawarkan diri. Pihak perusahaan melihat semangat dalam diri Bill Poter, sehingga ia pun diterima bekerja di perusahaan tersebut.

Dengan penuh kesabaran, ketekunan dan semangat ia menekuni profesinya. Setiap hari Bill Porter naik bus menuju wilayah pemasaran yang dimaksud. Kemudian ia berusaha mencari dan melayani konsumennya, meskipun untuk itu ia harus berjalan kaki sepanjang 8 sampai 10 mil.

Dalam menjalankan tanggung jawab sebagai seorang pemasar, ia pun berusaha menjalin hubungan baik dengan penduduk di wilayah pemasarannya. Kesabaran dalam menjalin hubungan baik menjadikan dirinya semakin mengenal penduduk di wilayah tersebut. Dengan mudah pula ia mendapatkan akses informasi, misalnya tentang Peter yang sudah pindah ke kota lain, anak perempuan Stephen yang sudah menikah dengan putra keluarga John dan lain sebagainya.

Tak nampak sedikit pun rasa lelah di wajahnya. Meskipun ia dihadapkan pada berbagai bentuk tantangan, misalnya berupa penolakan, kritik, cemooh, dan kerasnya persaingan. Ia menjalani semua itu dengan senang hati, seperti yang telah diajarkan oleh ibunya.

Ia begitu tekun, sabar dan bersemangat menjalankan profesinya. “I like to be a salesman. – Saya senang menjadi salesman!” kata Bill Poter. Pada saat ia dirawat di sebuah rumah sakit pun, Bill Porter masih berusaha menawarkan produk kepada seorang pasien di sebelah ranjangnya.

Ada sebuah kisah menarik dalam perjuangan Bill Poter memasarkan produk. Seorang calon konsumen memberinya sebuah hadiah sebagai bentuk rasa iba atas kondisinya. Tetapi, dengan halus Bill Poter menolak pemberian tersebut. “Saya adalah seorang salesman bukan pengemis yang sedang meminta belas kasihan,” katanya. Dapat kita lihat bahwa cacat fisik yang ia derita sama sekali tidak membuatnya mengurangi ketekunan dan semangat juang Bill Poter atau berusaha meminta belas kasihan orang lain.

Dengan modal ketekunan, kesabaran, dan semangat juang yang sangat tinggi ia berhasil menjadi pemasar yang cukup sukses. Ia mendapatkan sebuah penghargaan The Best Salesman of The Year dari The Watkins sebagai sales terbaik. Ia juga mendapatkan penghargaan dari The National Council on Communicative Disorders yang saat itu disampaikan oleh John Glenn pada tahun 1998. Kisahnya bahkan pernah dimuat dalam majalah The Readers’ Digest. Tak ada yang istimewa dalam diri Bill Poter, selain kekurangan pada fisiknya yang cacat. Tetapi ia memiliki ketekunan, kesabaran dan semangat yang begitu besar untuk terus mencoba, dan telah menjadi modal utama keberhasilannya. “Most of the important things in the world has been accomplished by people who have kept on trying when there seemed to be no hope at all. – Sebagian besar hal-hal penting di dunia ini diciptakan oleh orang-orang yang terus mencoba meskipun realitas semula tak menampakkan harapan sama sekali,” kata Dale Carnegie. Bahkan sampai saat ini, di usianya yang telah mencapai 75 tahun, Bill Poter masih saja aktif menjalankan profesinya melalui internet.

Semangat, ketekunan, dan kesabaran merupakan modal utama kesuksesan Bill Poter. Ketiga faktor itu pula menjadi modal keberhasilan Chris Gardner, seorang tokoh dalam sebuah film berjudul The Pursuit of Happiness (2006). Film yang dibintangi oleh Will Smith dan anak kandungnya sendiri, Jaden, merupakan kisah nyata.

Dikisahkan sumber penghasilan Chris Gardner hanyalah berasal dari keuntungan penjualan produk kesehatan. Tetapi penghasilannya jauh dari cukup, sehingga memicu konflik dengan istrinya. Sang istri meninggalkan Chris Gardner dan putranya untuk mencari pekerjaan di New York. Selanjutnya Chris Gardner terpaksa bekerja sambil mengasuh anaknya.

Kemudian Chris magang di sebuah perusahaan saham. Selama 6 bulan bekerja dalam masa percobaan, Chris sama sekali tidak mendapatkan gaji. Padahal persaingan kerja yang begitu ketat belum tentu memberinya kesempatan menjadi pegawai tetap di perusahaan tersebut.

Tak hanya itu, Chris kerap direndahkan. Atasannya sering meminta Chris melakukan pekerjaan seorang pembantu, misalnya menyediakan kopi dan makanan, atau mencarikan tempat parkir mobil. Tetapi ia menjalani semua itu sebaik mungkin, tanpa keluhan atau rasa letih.

Sementara untuk menghidupi anak dan dirinya sendiri ia terpaksa menjual barang-barang dagangannya berupa alat-alat kesehatan. Tetapi hasil penjualan itu tak dapat menutupi kebutuhan sewa kamar, sehingga ia diusir dan terpaksa bermalam di kamar kecil di stasiun kereta api bersama anaknya yang berusia 5 tahun. Jika sedang mujur, terkadang ia mendapatkan tempat menginap sementara di sebuah rumah singgah milik pemerintah.
bill porter
Hanya dengan kesabaran, keuletan, dan semangat yang tinggi Chris mampu bekerja dengan baik. Kemudian ia diangkat menjadi salah seorang pialang saham di perusahaan tersebut. Dengan ketiga faktor itu pula ia mencoba merintis karirnya hingga mampu mencapai kesuksesan luar biasa di Chicago, USA.

“You got a dream, you got to protect it. People tell you, you can’t do something, it’s because they can’t do it. You want something, go get it! – Jika kamu mempunyai impian, maka kamu harus menggenggam impianmu itu erat-erat. Orang lain dapat menilai dirimu tak akan mampu melakukan sesuatu, itu karena mereka sendiri tak dapat melakukannya. Jika kamu menginginkan sesuatu, maka segera wujudkan!” begitu kata Chris pada suatu hari kepada anaknya. Chris telah menjadi sumber inspirasi bagi masyarakat luas di Amerika dan sempat diundang dalam acara Oprah Winfrey Show.

Bill Porter dan Chris Gardner tidak mempunyai kelebihan khusus, kecuali memiliki kualitas 3 P (passion/semangat, patience/kesabaran, dan persistence/keuletan). “You’re not obligated to win. You’re obligated to keep trying to do the best you can every day. – Anda tidak diminta untuk selalu menang. Tetapi setiap hari Anda hanya bertanggung jawab untuk melakukan yang terbaik,” kata Marian Wright Edelman. Dengan ketiga faktor itu mereka mampu melakukan pekerjaan sebaik mungkin dan mendapatkan hasil maksimal.