
Fitriyanto hanya lulusan SMA. Tapi, berkat tekad yang diiringi dengan usaha keras, ia sukses menjadi produsen perawatan mobil merek Autofit. Pemilik PT Vitechindo Perkasa ini mampu membikin produk yang bisa bersaing dengan merek terkenal.
Hidup ini bagi Fitriyanto benar-benar sebuah perjuangan. Ia lahir dari keluarga sederhana, kalau tidak disebut miskin. Ayahnya hanya seorang tukang kayu. Tapi, dengan tekad yang bulat dan usaha yang kuat, Fitriyanto mampu menjadi seorang pengusaha produk perawatan mobil yang terbilang sukses.
PT Vitechindo Perkasa, perusahaan milik
Fitriyanto, berhasil memasok produknya ke bengkel resmi milik agen tunggal
pemegang merek (ATPM) besar, seperti Toyota, Daihatsu, Isuzu, Honda, Nissan,
Hyundai, Suzuki, Kia, dan Mazda. Bisnis ini menghasilkan omzet Rp 8 miliar per
tahun.
Label merek produk buatan Fitriyanto adalah Autofit.
Saat ini, ada 20 produk merekAutofit yang sudah diproduksi, antara lain produk
sampo, semir ban, pelumas, pembersih evaporator, injection purge, cairan
pembersih bahan bakar, pembersih blok mesin, pembersih karburator, dan
pembersih ruang bakar mesin kendaraan.
Uniknya, untuk meracik Autofit, Fitriyanto
sama sekali tidak memperdalam ilmu kimia secara formal. “Semua saya pelajari
secara autodidak,” kata pria kelahiran Purbalingga, 10 November 1972 ini.
Ayahnya yang seorang tukang kayu tentu tak mampu
menyekolahkannya tinggi-tinggi. Maka, ketika lulus SMA, pada tahun 1992,
Fitriyanto langsung hijrah ke Jakarta. Anak bungsu dari lima bersaudara ini
menjadi kuli bangunan.
Enam bulan menjadi kuli bangunan, Fitriyanto pindah
menjadi tukang bantu-bantu di rumah Rachmat Gobel, kini Presiden Komisaris PT
Panasonic Manufacturing Indonesia. Di rumah itulah ia ketemu dengan salah satu
manajer Panasonic. “Saya ditawari kerja,” ujarnya. Ia lalu menjadi pegawai di
Panasonic, divisi komponen, yang memproduksi semua speaker.
Di waktu senggang, Fitriyanto selalu
meluangkan waktu untuk membaca buku kisah orang sukses. “Saya menghimpun tekad
untuk menjadi orang sukses. Dari buku yang saya baca, orang sukses kebanyakan
mengawali karier sebagai tenaga pemasaran (marketing),” kata suami Lihardiana
ini.
Fitriyanto lantas hengkang dari Panasonic
dan pada tahun 1995, ia menjadi tenaga pemasar di produsen minuman. “Saya
mendapat upah Rp 75.000 per bulan, jauh lebih kecil ketimbang jadi kuli
bangunan. Ketika jadi kuli, upah saya Rp 60.000 per minggu,” kata Fitriyanto
yang akhirnya keluar setelah tiga bulan bekerja.
Lantaran bertekad jadi tenaga pemasar,
Fitriyanto kembali masuk ke perusahaan cokelat selama setahun, sebelum akhirnya
pindah ke PT Prima Karya Gandareksa, perusahaan kimia. Ia tetap jadi tenaga
pemasar, tetapi dengan gaji Rp 5 juta per bulan. “Saya banyak belajar tentang
produk perawatan mobil di sini,” katanya. Lantaran kinerjanya bagus, perusahaan
menugaskannya ke Bali. Tapi, ia memilih mundur lantaran tak ingin jauh dari
keluarga. Selama setahun, ia beberapa kali pindah kerja di perusahaan kimia.
Fitriyanto akhirnya masuk ke perusahaan
produk perawatan mobil dari Jerman. “Di perusahaan ini, saya suka memperhatikan
para peracik produk. Saya pelajari, bahan apa saja yang diramu menjadi produk
perawatan,” katanya.
Setiap Sabtu dan Minggu, dia pergi ke toko kimia untuk
mempelajari bahan-bahan kimia yang bisa diramu menjadi produk perawatan mobil.
Dia bertahan selama lima tahun di perusahaan itu sebelum akhirnya mengundurkan
diri dengan posisi gaji terakhir Rp 24 juta per bulan.
Pinjam uang ke bank
Pengalaman di perusahaan pembuatan produk perawatan
mobil membuat Fitriyanto percaya diri untuk memulai usaha sendiri. “Sebagai
tenaga pemasar, saya sudah memegang banyak pelanggan. Saya juga sudah bisa
membuat produk sendiri,” katanya.
Dengan memanfaatkan bengkel sepeda motor
di Cikeas, Bogor, yang didirikan saat masih bekerja, pada 2007, Fitriyanto
memulai usaha produk perawatan mobil. “Saat itu, cuma ada satu montir dan
tempatnya sangat sederhana,” kenangnya. Di bengkel itu, dia meracik bahan
setelah memenangi tender pengadaan produk perawatan mobil dari salah satu
bengkel mobil besar.
Lantaran tak punya modal, Fitriyanto mencari pinjaman
bank sebesar Rp 25 juta. “Karena tidak ada agunan, modalnya hanya kepercayaan.
Bank itu menjadi pelanggan di bengkel kami,” katanya.
Dari modal Rp 25 juta, ia bisa
menghasilkan omzet Rp 80 juta. Tiga tahun berjalan, usahanya semakin besar.
Dengan pinjaman bank yang lebih besar, dia membuka pabrik di daerah Cipayung,
Jakarta Timur, dan mendirikan PT Vitechindo Perkasa.
Saat ini, Fitriyanto memiliki 35 karyawan
dan sejak awal bulan Juni 2012, dia membuka lembaga kursus bahasa Inggris dan
komputer. “Saya sendiri tak bisa mengoperasikan komputer,” katanya sambil
tertawa. Ia juga membuka sekolah taman kanak-kanak sembari menjalankan usaha
bengkelnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar